Melacak Jejak Kretek Di 4 Kota (Episode: Temanggung)

Posted on February 9, 2012

7



Jika rokok umumnya dikenal hanya berbahan baku irisan atau rajangan kering daun tembakau, maka kretek diramu dengan tambahan serbuk bunga atau biji cengkeh. Inilah beda kretek dengan rokok—yang barangkali sudah banyak diketahui. Namun, belum banyak orang tahu jika ternyata kretek tumbuh dan berkembang di empat kota di Nusantara. Adalah Temanggung, Kudus, Kediri, dan Minahasa, kota-kota tempat lahirnya kretek. Jika tembakau banyak ditemukan di tanah Sumatera dan Jawa, maka cengkeh umumnya ditemukan di Pulau Sulawesi (KRETEK, 2010).

Srintil Dari Temanggung

Ketika menyebut cerutu, kita pasti langsung teringat akan Kuba. Negara di Amerika Latin ini begitu identik dengan cerutu. Adalah Vuelta Abajo, salah satu distrik di Kuba, yang menjadikannya demikian. Sangat bisa jadi identitas kretek yang begitu melekat di Indonesia pun diciptakan oleh kota bernama Temanggung (KRETEK, 2010:22). Jika kualitas cerutu Kuba baru diakui setelah dicampur tembakau Vuelta Abajo, kretek terbaik Indonesia tak afdhol jika tak mengandung tembakau Srintil dari Temanggung. Inilah Temanggung yang sering dijuluki sebagai ‘Vuelta Abajo’ nya Indonesia—meminjam bahasanya Mark Hanusz (2000; 82).

Konon, tembakau baru ditanam di Indonesia sekira tahun 1630. Dalam konteks ini, nusantara patut berterimakasih pada Christopher Colombus, karena dia lah orang yang turut membawa Nicotiana Tabaccum ke Indonesia. Dugaan ini merujuk pada cerita rakyat Roro Mendut. Putri Kadipaten Pati ini lebih memilih menjadi penjaja rokok daripada menjadi istri Tumenggung Wiraguna demi cintanya kepada Pronocitro, pemuda desa yang begitu dicintainya. Cerita ini muncul saat masa pemerintahan Sultan Agung di Kerajaan Mataram (1613-1645), yang pada saat bersamaan tembakau ditanam di tanah Jawa (KRETEK, 2010:24). Dari sinilah jejak tembakau terekam.

Srintil, inilah tembakau asli Temanggung yang begitu tersohor seantero negeri. Tembakau ini memiliki aroma dan rasa yang begitu menggoda. Aroma khasnya akan mudah tercium meski dari jarak beberapa meter. Wajar saja karena Srintil disimpan cukup lama dalam gudang. Srintil akan lahir tergantung pada proses penanaman dan pemeramannya. Sebetulnya tembakau jenis ini tergolong agak manja. Pupuk yang digunakan jika ingin menghasilkan tembakau primadona ini pun haruslah pupuk kandang. Dengan itu, nantinya pada permukaan daunnya akan terlihat ‘pembengkakan’ yang berisi cairan (KRETEK, 2010:24).

Tak berhenti sampai disini. Kualitasnya masih tergantung lagi pada proses pemeraman. Jika proses ini berhasil, maka daun akan terfermentasi oleh jamur sehingga daun menjadi lunak. Jika dirajang daunnya tidak tipis-tipis seperti kebanyakan. Ia mudah hancur, menggumpal, dan mengeluarkan minyak. Soal kandungan nikotin, tembakau jenis ini juga tidak main-main, yakni berkisar di angka 3-8%, prosentase yang cukup tinggi untuk sebuah tembakau. Inilah alasan Srintil menjadi incaran pemburu tembakau berkelas. Keistimewaannya juga disumbang oleh harganya yang fantastis, yakni mencapai 1 juta/kg (sampai tahun 2010).

Rekor fantastis yang dipegang oleh tembakau Srintil bukan tanpa alasan. Dalam setiap kali panen tembakau yang dihasilkan tidak semuanya berjenis Srintil. Oleh karena itu, tembakau jenis ini biasanya hanya dijadikan campuran dalam racikan kretek. Tak heran jika Srintil dikenal juga dengan sebutan ‘tembakau lauk’—hanya dijadikan campuran kretek. Kejadian unik berikutnya adalah jika dibakar pada malam hari, konon Srintil akan memancarkan cahaya terang. Sebagian masyarakat setempat percaya jika cahaya itu diturunkan dari langit. Srintil, buat mereka, adalah suatu ‘Kuasa Illahi’ (KRETEK, 2010:24)

Luar biasa. Tentu kita wajib mengapresiasi dan bersyukur dengan ini. Ternyata nusantara kita punya ‘nilai jual’ yang begitu mahal. Terkadang Barat dan dunia luar sana lebih menghargai Indonesia daripada kita sendiri. Kita sering menafikkan bahwa nusantara ini kaya dan mengkayakan. Semoga kita sadar, bahwa hanya kitalah yang mampu untuk menjaga kewibawaan bangsa ini, terutama di mata dunia luar.

*Sebagian isi diadopsi dari ulasan Muhammad Imran dalam “Kretek”, edisi 2010.