Corporate Citizenship (CC)

Posted on March 10, 2011

2



Koestoer menjelaskan tentang Corporate Citizenship dalam Corporate Citizenship: Corporate Social /Environment Responsibility adalah cara perusahaan dalam bersikap atau memperlihatkan perilaku ketika berhadapan dengan para pihak lain sebagai salah satu cara untuk memperbaiki reputasi dan meningkatkan keunggulan kompetitif (Koestoer, 2004). CC berkaitan dengan masalah pembangunan sosial (social development) serta diterapkan dalam konteks kemitraan (partnership) dan tata kelola (governance). Ajaran-ajarannya antara lain, pembangunan masyarakat, pelestarian lingkungan untuk keberlangsungan ekosistem, serta memperbaiki kualitas hidup manusia. Pengejawantahannya melalui pengelolaan manajemen internal yang baik, memberikan bantuan sumberdaya untuk pembangunan sosial, dan kemitraan dengan masyarakat bukan bisnis. Namun, apa yang terjadi sekarang? Kenyataan mengatakan lain.

Dalil ekonomi neoklasik mengatakan bahwa seiring dengan meningkatnya keuntungan suatu perusahaan pasti meningkat pula kemakmuran rakyat. Karena dengan itu produk yang dihasilkan akan lebih murah dan lebih efisien. Logikanya terbalik sekarang, dengan meningkatnya keuntungan suatu perusahaan, maka rakyat semakin menderita dan ekosistem akan semakin carut marut. Tidak ada pertanggungjawaban setelah itu. Mereka (korporasi) membiarkan publik mengais sisa-sisa jarahan mereka. Parahnya lagi hal tersebut terjadi di tanah kita sendiri (lihat kasus PT Freeport dan Exxon Mobile).

Persoalannya sekarang adalah tidak sedikit perusahaan yang katanya mempraktekkan CSR (Corporate Social Responsibility) malah merusak lingkungan dan banyak juga yang melanggar HAM. Pembangunan masyarakat (community development) dan perbaikan lingkungan hanya dijadikan kedok untuk ‘mengelabui’ publik. Pun, sejauh ini kebijakan pemerintah dalam mewajibkan korporasi untuk menjalankan CSR ini tidak jelas kemana arahnya. Pada akhirnya semuanya bermuara pada keuntungan korporasi. Hanya laba yang bersemayam di benak para perusahaan swasta itu.

Apalagi, peran pemerintah sekarang di tengah modernisasi dan globalisasi, semakin berkurang. Hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak pun diserahkan ke tangan swasta. Pemerintah yang seharusnya berada di tengah rakyat dengan pelayanan terhadap publik malah terkesan angkat tangan. Publik lagi-lagi harus membayar mahal ketika semuanya sudah di tangan perusahaan swasta.

Pada saat ini hanya 20% penduduk dunia yang menikmati begitu banyak manfaat atas kekayaan alam dan hasil bumi (The World Bank Institute, 2005). Sisanya, 80% masuk ke dalam kantong korporasi. Rakyat yang menanam korporasi lah yang memanennya. Adilkah ini?

Bung Karno pernah bilang, “Biarkan kekayaan alam itu di dalam tanah, tunggu sampai anak bangsa mampu mengolah sendiri”.
Apakah pemimpin nanti akan rela “lagi” menjadikan bangsa ini menjadi budak asing dan menjadi kuli dari Barat? Ataukah menjadi ‘hero’ bagi yang mampu mengangkat bangsa ini kembali ke martabatnya?