Melacak Jejak Kretek Di 4 Kota (Episode: Kediri)

Posted on March 10, 2012

0



Meski bukan yang terbesar jika dibandingkan dengan kawasan lain sebagai penghasil kretek, yakni Kudus, Temanggung, dan Minahasa, Kediri patut juga diperhitungkan. Di wilayah inilah bercokol salah satu produsen terbesar kretek nusantara, yakni PT Gudang Garam. Hampir di setiap penjuru Kediri Raya (Kabupaten dan Kota Kediri) terdapat tanda produsen rokok ini. Bahkan sampai landmark, salah satu tugu kecil di jalanan Kediri, diukir dengan nama ‘Gudang Garam’. Wajar saja jika orang mengenal Kediri adalah Gudang Garam.

Adalah seorang perantau asal Hokian, Cina, bernama Tjou Ing Hwie industri kretek di Kediri mulai dirintis. Ia awalnya hanya seorang pedagang tembakau dan palawija pada tahun 1943. Sempat bekerja dengan kerabatnya di industri rokok, ia pun akhirnya mendirikan industri rokok sendiri pada tahun 1958 dengan nama ‘Perusahaan Rokok Tjap Gudang Garam’. Ia lalu merubah namanya, menjadi warga negara Indonesia, dengan nama baru Surya Wonowijoyo. Sepeninggalnya, perusahaan yang menjadi salah satu nama besar perusahaan rokok tersebut diteruskan oleh keturunannya hingga kini.

Industri rokok memang sepertinya tak akan pernah mati. Boleh surut, tapi pasti akan pasang juga nantinya. Barangkali, selain urusan perut, industri ini juga sudah dianggap sebagai warisan nusantara yang tentu patut dilestarikan. Bukan hanya oleh industri besar, oleh industri kecil apalagi ladang ini sudah dianggap sebagai ladang rejeki yang tak mungkin padam. Bahwa kemudian ada alasan industri ini mampu menyokong seantero Kediri Raya dan bahkan Jawa Timur, layak di-iyakan. Berjuta pasang mata dapat hidup darinya. Dana dari cukai tembakau sejumlah Rp. 42,98 miliar diserap oleh Kabupaten Kediri untuk pelayanan umum, kesejahteraan masyarakat, SKPD, hingga RSUD (Bappeda Kediri, 2009).

Dibalik kisah sukses industri rokok besar ada pula kisah pilu para pengusaha kecil (home industry). Jika pengusaha besar memakai cengkeh dan tembakau kelas 1, tidak demikian dengan para pengusaha kecil. Mereka hanya memakai jengkok, semacam tembakau lembut atau biasa disebut ‘limbah’. Tembakau ini adalah rejected materials Gudang Garam. Bukan hanya itu, hingga pembungkus dan filter alumunium foil-nya pun adalah bahan bekas. Coba bayangkan bagaimana mereka tak kalah telak dari produsen besar. Konyol jika dengan kualitas yang ala kadarnya mereka berani bersaing dengan perusahaan kelas nasional yang tentu dengan kualitas super. Jelas bukan tandingannya.

Sebentar dulu. Jangan anggap bahwa para pengusaha besar itu yang mematikan mereka yang kecil. Justru banyak diakui oleh mereka yang kecil jika produsen besarlah, seperti Gudang Garam, yang banyak men-support mereka untuk sama-sama bersaing dan berusaha di ladang ini. Produsen macam Gudang Garam justru membolehkan jengkok-nya dibawa dan dikreasikan menjadi kretek oleh para masyarakat Kediri untuk kemudian dijual. Lalu, dimana letak kesalahannya? Apa penyebab industri kecil tidak bisa maju dan berkembang jika bukan dimatikan oleh produsen besar? Jawabannya adalah pemerintah.

Usaha kretek rumahan (home industry) skala kecil dan menengah harus kalah dan mengalah oleh kebijakan pemerintah yang kian ketat. Dari mulai ketatnya persyaratan usaha termasuk dalam ketentuan cukai ikut mencekik leher industri rumahan ini. Pemerintah telah mengeluarkan road map kebijakan rokok sampai tahun 2014, yang di dalamnya termasuk kenaikan tarif cukai untuk industri rumahan dari 4% menjadi 8%. Kenaikan hanya 4% tapi tentu sudah cukup membuat industri kecil dan menengah ngap-ngapan. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.200/Tahun 2008 tentang Luas Bangunan untuk Perusahaan Rokok Kecil, yakni minimal 200 m² kian manambah penderitaan mereka yang pas-pasan.

“…50 meter persegi saja sudah sulit dipenuhi,” kata salah seorang mantan pengusaha kretek rumahan disana. “Ini politik adu domba di antara kami, pembabatan secara sistematis,” lanjutnya.

 

*Diinspirasi dari Majalah “Kretek”, edisi 2010.

Link terkait : http://klosetide.com/?p=1470

***